GURU PROFESIONAL KUNCI KEBERHASILAN PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
sebagai negara berkembang, dalam pembangunan bangsa masih mengacu pada
negara-negara lain yang sudah maju. Demikian pula dengan dunia pendidikan, meskipun tidak 100% adaptasi dari negara maju tetapi upaya untuk menghasilkan lulusan bermutu sudah mulai digalakkan. Dunia pendidikan
di Indonesia memang masih tertinggal jauh dengan negara-negara lain.
Baik dari segi mutu lulusan, sarana prasarana maupun sumber daya manusia
yang terlibat dalam dunia pendidikan. Untuk mengejar ketinggalan dengan negara lain, para guru dituntut untuk mampu mengembangkan diri baik dalam segi tingkat pendidikan maupun kualitas kerjanya.
Dengan peningkatan sumber daya manusia terutama para guru, diharapkan dunia pendidikan
mampu menghasilkan lulusan yang bagus dan bermutu. Bagus dari segi
prestasi, bermutu dalam arti mampu bersaing dalam era globalisasi dan
mengikuti perkembangan jaman terutama dalam bidang teknologi, informasi
dan sains.
Peningkatan kualitas guru
ini benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah, karena para
siswa adalah calon-calon penerus dan pengembang bangsa Indonesia.
Indonesia akan menjadi negara besar jika para putra bangsanya mampu
bersaing dengan negara-negara maju. Dan tugas ini terletak di pundak
para guru sebagai pendidik dan pengajar.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang kami angkat adalah :
1. Bagaimana menjadi guru yang profesional ?
2. Mengapa guru profesional adalah kunci keberhasilan pendidikan ?
1.3 Tujuan
Tujuan secara umum adalah para guru di Indonesia dapat menjadi guru profesional yang bertanggungjawab dan bermutu.
Tujuan secara khusus adalah para guru mau dan dapat mengembangkan diri secara periodik agar tidak tertinggal.
1.4 Manfaat
Manfaat
yang diperoleh dengan menjadi guru profesional adalah kesejahteraan
guru meningkat, mampu menghasilkan lulusan yang bermutu, mampu bersaing
dalam era globalisasi, intelektual dan kemampuan berkembang sesuai jaman
dan kreatif, inovatif.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Guru Profesional
Guru
profesional dipandang dari segi jabatan adalah guru yang memiliki
sertifikat mengajar, berijasah minimal S-1 keguruan atau Akta IV,
mempunyai jam mengajar minimal 24 jam perminggu.
Guru
profesional dipandang dari segi tugas dan fungsinya adalah guru yang
mampu mentransfer ilmu kepada siswa dengan menggunakan metode
pembelajaran yang tepat; memanfaatkan teknologi secara tepat guna;
menguasai metode dan teknologi; melaksanakan administrasi pembelajaran
secara teratur; mampu berkomunikasi dengan siswa secara baik; menjalin
hubungan dengan pakar-pakar pendidikan atau masyarakat umum;
mengembangkan diri secara periodik melalui seminar-seminar, diklat,
penataran; menjadi panutan bagi masyarakat dan terlibat dalamm
kegiatan-kegiatan masyarakat; berkreasi dan mampu menuangkan ide-ide
kreatif melalui tulisan, kegiatan nyata.
2.2 Sosok Seorang Guru Ideal dan Guru Profesional
Sebelum
menjadi sosok guru profesional, hendaklah menjadi guru ideal terlebih
dahulu. Tolak ukur untuk menetapkan mana guru yang ideal dan mana guru
yang sedikit ideal bahkan tidak ideal sama sekali tentu sangat subyektif
dan relatif. Apa yang disampaikan oleh Husnul tentang
kriteria guru ideal abad 21 merupakan tawaran yang cukup bagus. Tetapi,
kita perlu juga mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
menjadi guru ideal belumlah cukup. Untuk mencapai menjadi guru
profesional, haruslah melewati tahap-tahap menjadi guru ideal. Karena
syarat untuk menjadi guru profesional ada dalam syarat menjadi guru
ideal. Bekal sertifikat mengajar saja tidak cukup, sertifikat hanya
selembar kertas, tetapi wujud nyata sebagai seorang guru yang dikatakan
profesional sebagaimana halnya dokter harus diwujudkan. Syarat-syarat
ini akan kami bahas di bab selanjutnya.
2.3 Tuntutan dan Janji Profesionalisme Guru
Menurut T. Raka Joni,
suatu profesi harus berpijak pada tiga pilar, yaitu pilar pertama
adalah kemampuan-atau katakanlah kompetensi tingkat tinggi yang hanya
bisa diraih melalui pendidikan yang "serius"-kuat dasar akademiknya,
tangguh pengetahuan dan keterampilan profesionalnya, serta tinggi
keakrabannya dengan situasi rujukannya melalui program pengalaman
lapangan yang sistematis: mulai dari latihan laboratorik, dilanjutkan
dengan latihan di lapangan yang bermuara pada masa pemagangan . Pilar
kedua, dalam menerapkan layanan ahlinya itu, kaum profesional tersebut
selalu mengedepankan kemaslahatan kliennya (subyek didik dalam konteks
keguruan, pasien dalam konteks kedokteran). Tidak pernah terlintas dalam
pikiran seorang profesional untuk menggunakan keahliannya itu untuk
memperoleh keuntungan pribadi, apalagi yang dapat berdampak merugikan
klien. Oleh karena itu, di samping karena sisi teknis pendidikan
persiapannya, kedua pilar merujuk kepada persyaratan pembentukan
kepribadian dan watak yang bermuara pada pelaksanaan layanan ahli yang
selalu dapat diandalkan oleh klien. Dengan perkataan lain, seorang
profesional selalu menampilkan diri sebagai safe practitioner. Pilar
ketiga adalah diakui serta dihargainya eksistensi layanan yang unik,
yang mempersyaratkan keahlian khas ini oleh masyarakat pemakai layanan
serta oleh pemerintah. Dengan kata lain, kedudukan sebagai penyelenggara
layanan ahli diperoleh berdasarkan kompetensi dan etika, bukan
berdasarkan uang atau akrobatik KKN.
Guru
yang profesional, harus segera diwujudkan. Terlebih di era otonomi
daerah, dengan acuan kompetisi global yang sungguh ketat. Bayangkan
saja, jika melihat peringkat dunia pendidikan kita berada di urutan
ke-109 di tahun 2000. Untuk meraih posisi yang lebih meningkat, bukan
jalan yang mudah. Sebab, salah satu yang memegang kendali paling dominan
adalah bagaimana mempunyai tenaga pendidik yang memang benar-benar
berkualitas Mencapai sosok guru yang berkualitas dan mampu melahirkan
daya saing pendidikan tidak sekadar menaikkan gaji. Konteks globalisasi,
lebih memaksa para guru mampu memberikan materi-materi ajar yang
relevan dengan kebutuhan zaman, yang diajarkan dengan sebuah metoda
pengajaran yang dinamis. Metoda pengajaran yang dinamis, setidaknya
harus dipunyai oleh mereka yang ingin benar-benar menjadi profesional di
dunia pendidikan.
Maka,
menjadi guru yang profesional berarti mempunyai militansi individual,
sadar akan sistem sanksi profesi, mempunyai landasan pengetahuan nalar
yang kuat, mampu bekerja sama dalam sebuah sistem pendidikan formal
terkecil sekolah.
Untuk itulah, dengan naiknya gaji, ternyata salah satu tuntutan yang terus bergulir deras adalah, bagaimana jika kalangan pendidik tampil lebih professional.ini yang ideal.
Untuk itulah, dengan naiknya gaji, ternyata salah satu tuntutan yang terus bergulir deras adalah, bagaimana jika kalangan pendidik tampil lebih professional.ini yang ideal.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Menjadi Guru Ideal
Pertama,
guru ideal dapat membagi waktu. Kalau hanya untuk belajar, mengajar dan
mempersiapkan materi pelajaran, banyak guru yang bisa membagi waktu
dengan baik. Namun benturan ekonomi dan rendahnya kesejahteraan
-terutama guru tidak tetap (GTT)- seringkali membuat hidup menjadi serba
kekurangan. Urusan membagi waktu pun kemudian menjadi hal yang teramat
sulit.
Kedua,
guru harus gemar membaca. Kegiatan ini terdengar mudah sebab bisa kapan
saja dan di mana saja. Membaca juga tidak harus dengan membeli buku.
Kita bisa meluangkan waktu pergi ke perpustakaan atau tempat lain yang
baca gratis. Namun kembali lagi pada masalah yang pertama tentang
pembagian waktu. Barangkali para guru akan sedikit bahagia kalau
mendengar kabar bahwa sehari tidak lagi 24 jam tetapi 34 jam.
Ketiga,
tentang budaya menulis dan meneliti, dua hal ini masih menjadi kendala
terberat guru. Saya mensinyalir ada keterkaitan antara budaya membaca
dan keterampilan menulis. Di Malang raya begitu banyak media untuk
mempublikasikan tulisan dan hasil peneltian. Paling tidak, dengan
banyaknya media yang menyediakan ruang bagi guru dapat memacu guru untuk
lebih giat menulis dan meneliti.
Guru
ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang
mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya
seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih
airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja
yang meminumnya.
Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami. Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok guru ideal yang diperlukan saat ini?
Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami. Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok guru ideal yang diperlukan saat ini?
Guru ideal yang diperlukan saat ini adalah pertama,
guru yang memahami benar akan profesinya. Profesi guru adalah profesi
yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak
mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi.
Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan
dibawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan hatinya.
Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria,
senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Salam, Sapa, Sopan, Senyum, dan Sabar).
Kedua,
guru yang ideal adalah guru yang rajin membaca dan menulis. Pengalaman
mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu.
Namun, bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru
yang rajin membaca otaknya seperti komputer atau ibarat mesin pencari di
internet ysng bernama Google.
Bila ada peserta didiknya yang bertanya, memori otaknya langsung
bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para anak didiknya dengan cepat
dan benar. Akan terlihat wawasan guru yang rajin membaca, dari cara
bicara dan menyampaikan pengajarannya.
Guru
yang ideal adalah guru yang juga rajin menulis. Bila guru malas
membaca, maka sudah bisa dipastikan dia akan malas pula untuk menulis.
Menulis dan membaca adalah kepingan mata uang logam yang tidak dapat
dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan terbiasa menulis,
mengapa? Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang
dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya
bahasanya sendiri. Menulis itu ibarat pisau yang kalau tidak sering
diasah, maka akan tumpul dan berkarat. Guru yang rajin menulis, akan
mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau.
Tulisannya sangat menyentuh hati, dan bermakna, rinci serta mudah
dicerna bagi siapa saja yang membacanya.
Ketiga, guru yang ideal adalah guru yang sensitif terhadap waktu. Orang Barat mengatakan bahwa waktu adalah uang, time is money.
Bagi guru waktu lebih dari uang dan bahkan bagaikan sebilah pedang
tajam yang dapat membunuh siapa saja termasuk pemiliknya. Pedang yang
tajam bisa berguna untuk membantu guru menghadapi hidup ini, namun bisa
juga sebagai pembunuh dirinya sendiri. Bagi guru yang kurang
memanfaatkan waktunya dengan baik, maka tidak akan banyak prestasi yang
ia raih dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang ia sia-siakan.
Karena itu guru harus sensitif terhadap waktu. Detik demi detik
waktunya teratur dan terjaga dari sesuatu yang kurang baik serta sangat
berharga. Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan
menjadikan kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita
memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena
itu, kualitas seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan waktu dengan
baik.
Keempat,
guru yang ideal adalah guru yang tidak terjebak dengan rutinitas
kerjanya. Kesibukan kerja setiap hari menjadi rutinitas yang tiada
henti. Guru harus pandai mengatur rutinitas kerjanya. Jangan sampai guru
terjebak sendiri dengan rutinitasnya yang justru tidak menghantarkan
dia menjadi guru yang baik dan menjadi tauladan anak didiknya. Guru
harus pandai mensiasati pembagian waktu kerjanya. Buatlah jadwal yang
terencana. Buang kebiasan-kebiasaan yang membawa guru untuk tidak
terjebak di dalam rutinitas kerja, misalnya : pandai mengatur waktu
dengan baik, membuat diari atau catatan harian yang ditulis dalam agenda
guru, dan lain-lain. Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola
menjadi guru pasif bukan aktif. Hari-harinya diisi hanya untuk mengajar
saja. Dia tidak mendidik dengan hati. Waktunya di sekolah hanya sebatas
sebagai tugas rutin mengajar yang tidak punya nilai apa-apa. Guru hanya
melakukan transfer of knowledge. Tidak mau tahu dengan
lingkungan dan kondisi sekolah apalagi kondisi siswa. Dia mengganggap
pekerjaan dia adalah karirnya, karena itu dia berusaha keras agar yang
dilakukannya bagus di mata pimpinannya atau kepala sekolah. Tak ada
upaya untuk keluar dari rutinitas kerjanya yang sudah membosankan.
Bahkan sampai saatnya memasuki pensiun. Apakah ini yang disebut guru
profesional?
Kelima,
guru yang ideal adalah guru yang kreatif dan inovatif. Merasa sudah
berpengalaman membuat guru menjadi kurang kreatif. Guru malas mencoba
sesuatu yang baru dalam pembelajarannya. Dia merasa sudah cukup. Tidak
ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dari pembelajarannya. Dari
tahun ke tahun gaya mengajarnya itu-itu saja. Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang dibuatpun dari tahun ke tahun sama, hanya sekedar copy and paste
tanggal dan tahun saja. Rencana Program pembelajaran tinggal menyalin
dari kurikulum yang dibuat oleh pemerintah atau menyontek dari guru
lainnya. Guru menjadi tidak kreatif. Proses kreatif menjadi tidak jalan.
Untuk melakukan suatu proses kreatif dibutuhkan kemauan untuk melakukan
inovasi yang terus menerus, tiada henti.Guru yang kreatif adalah guru
yang selalu bertanya pada dirnya sendiri. Apakah dia sudah menjadi guru
yang baik? Apakah dia sudah mendidik dengan benar? Apakah anak didiknya
mengerti tentang apa yang dia sampaikan? Dia selalu memperbaiki diri.
Dia selalu merasa kurang dalam proses pembelajarannya. Dia tidak pernah
puas dengan apa yang dia lakukan. Selalu ada inovasi baru yang dia
ciptakan dalam proses pembelajarannya. Dia selalu memperbaiki proses
pembelajarannya melalui penelitian tindakan kelas. Dia selalu belajar
sesuatu yang baru, dan merasa tertarik untuk membenahi cara mengajarnya.
Dia belajar sepanjang hayat hidupnya.
Keenam,
guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang
dimiliki terpancar jelas dari karakter dan prilakunya sehari-hari. Baik
ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Kelima
kecerdasan itu adalah: kecerdasan intelektual, kecerdasan moral,
kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, kecerdasan motorik. Kecerdasan
intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral, Mengapa? Bila
kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan
menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan
ketimbang proses, segala cara dianggap halal, yang penting target
tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita
sehingga kasus korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu
kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan
mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Jujur bukanlah kebijakan yang
terbaik, tapi jujur adalah satu-satunya kebijakan. Kejujuran adalah
kunci keberhasilan dan kesuksesan. Selain itu kecerdasan sosial juga
harus dimilikin oleh guru ideal agar tidak egois, dan tidak
memperdulikan orang lain. Dia harus mampu bekerjasama dengan karakter
orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar
guru tidak gampang marah, tersinggung, dan mudah melecehkan orang lain.
Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan
mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang
maksimal.
3.2 Peran Strategis
Guru
yang profesional dan efektif, memegang peran keberhasilan pendidikan
siswa. Kunci sukses kegiatan belajar mengajar hanya akan tercapai, jika
guru benar-benar mampu melaksanakan profesionalitas kerjanya. Seperti
diungkapkan dalam penelitian John Goodladd (Behind The Classroom Doors, 1998) praktisi pendidikan Amerika, terungkap bahwa peran guru sangat signifikan dalam keberhasilan proses pembelajaran.
Ketika seorang guru memasuki kelas, dan menutup pintu, maka kualitas pembelajaran berhasil tidaknya ada di tangan guru. Kemana intensitas pendidikan kelas akan diarahkan, hanya guru-lah yang bisa mengendalikannya.
Ketika seorang guru memasuki kelas, dan menutup pintu, maka kualitas pembelajaran berhasil tidaknya ada di tangan guru. Kemana intensitas pendidikan kelas akan diarahkan, hanya guru-lah yang bisa mengendalikannya.
Dalam
proses belajar mengajar di kelas, maka seorang guru akan mampu
memotivasi, mendorong lahirnya kreativitas berpikir baru. Yang dalam
teori McCleland diungkapkan sebagai sosok yang mampu
memacu siswa berpikir secara divergent dengan memberikan berbagai
pertanyaan yang jawabannya tidak sekadar terkait dengan fakta: ya atau
tidak ! Peran guru bisa diupayakan dalam fase klimaksnya. Dengan
merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban-jawaban
kreatif, imajinatif, hipotetik dan sintetik (thought provoking question).
Dalam
paradigmanya yang lain, guru juga mampu memunculkan kesan yang :
membosankan, sekadar instruktif dan justru dijauhi para siswanya.
Kinerja guru semacam ini, pada akhirnya akan mampu mematikan kreativitas
dan menciptakan stagnasi proses pembelajaran itu sendiri. Selain
itu yang paling menyakitkan adalah berpeluang untuk bisa menumpulkan
daya nalar, menisbikan dimensi afektif. Mungkin guru yang masuk ketegori
semacam ini, kuantitasnya lebih banyak, jika dibandingkan dengan sosok
guru yang memang bernar-benar tampil dalam kapasitasnya yang
professional.
Maka,
setidaknya ada beberapa pijakan untuk bisa menjadi guru yang
profesional dan efektif. Maka sosok guru yang professional, mewakili
kriteria. Yakni, pertama, mempunyai kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback)
dalam sebuah proses pembelajaran. Guru, setidaknya eksis dengan
kapasitasnya memberikan respon-respon positif terhadap kreativitas
siswa, mendorong siswa mempunyai produktivitas kognitif, serta dapat
membantu setiap kebutuhan siswa secara professional.
Kedua,
mempunyai kemampuan interpersonal dalam memberikan empati dan
penghargaan kepada setiap siswa. Dalam proses pembelajaran, siswa sangat
membutuhkan wilayah untuk didengarkan, sebab definisi proses
pembelajaran adalah bentuk komunikasi dua arah. Masing-masing subjek
akan berperan dalam kapasitasnya. Namun, dalam setiap pengajaran peran
guru bukanlah yang dominan, melainkan subjek siswa yang seharusnya
diutamakan.
Ketiga,
secara kongkret mempunyai kemampuan yang terkait dengan peningkatan
diri. Misalkan, guru harus mampu menerapkan kurikulum pengajaran dengan
metoda mengajar yang inovatif, senantiasa terpacu untuk memperluas dan
menambah pengetahuan mengenai metoda-metoda pengajaran yang dinamis,
atau secara kongkret mampu mengadaptasikan perencanaan dengan titik
pengembangan cara pembelajaran yang relevan.
Keempat,
menjadi guru yang professional setidaknya benar-benar memahami strategi
manajemen pembelajaran. Manajemen pembelajaran di sini meliputi
strategi menghadapi siswa yang tidak mempunyai perhatian, suka menyela,
mengalihkan pembicaraan pengajaran serta mampu memberikan substansi
transisi siswa. Dalam kapasitasnya sebagai guru, sebisa mungkin juga
mampu memberikan tugas dengan titik tekan pada peningkatan cara berpikir
siswa. Setidaknya dari uraian tersebut sungguh berat rasanya. Namun ini
mutlak untuk diupayakan, dalam rangka mencapai sosok guru yang
professional. Menjadi guru yang berkualitas, sudah menjadi kemutlakan (taken for granted). Sebab, zaman kali ini telah memaksa dunia pendidikan untuk bisa meningkatkan daya kompetitifnya yang maksimal.
3.3 Mutu Guru Kunci Keberhasilan Pendidikan
Seperti yang dikatakan oleh Fullan,
kelas dan sekolah baru akan efektif apabila (1) kita merekrut
orang-orang terbaik untuk menjadi guru, dan (2) lingkungan kerja guru
dibuat nyaman dan kondusif untuk bekerja dan mendorong mereka untuk
berkarya agar mereka tidak loncat mencari pekerjaan lain.
Memiliki
dan mendapatkan guru-guru berkualitas prima itu semakin lama semakin
perlu mengingat bahwa dunia pendidikan perlu mengalami perubahan yang
sama cepatnya dengan dunia ilmu pengetahuan dan dunia bisnis. Kalau
tidak maka dunia pendidikan hanya akan menghasilkan lulusan-lulusan yang
‘katrok’ terhadap perkembangan dunia lain. Apapun perubahan dan inovasi
pendidikan yang hendak dilakukan oleh bangsa ini kalau mutu guru rendah
maka semuanya akan sia-sia. Segala ambisi besar macam ‘Sekolah Bertaraf
Internasional’ pada akhirnya akan kandas bertekuk lutut di kaki guru
yang sama sekali tak bertaraf internasional. Paling banter nantinya akan
menjadi ‘Sekolah Bertarif Internasional’.
Perubahan
kurikulum dalam sistem pendidikan kita adalah sebuah keniscayaan. Kalau
tidak berubah berarti kita semakin tertinggal. Kalau sekolah kita tidak
mengajarkan pemanfaatan komputer sebagai alat belajar dan internet
sebagai sumber belajar maka sekolah kita jelas akan tertinggal jauh di
belakang. Kita hanya akan menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak
kompatibel dengan kebutuhan dunia baru yang mensyaratkan kemampuan
memanfaatkan internet sebagai media dalam segala urusan dunia modern.
Itu artinya kita hanya akan meluluskan siswa dengan kualitas ‘dunia
agraris’ belaka. Sungguh celaka! Itu sebetulnya sudah dipahami oleh
semua pihak. Untuk bisa menghasilkan siswa-siswa yang siap berkompetisi
dalam dunia modern maka mereka mesti dididik oleh para guru yang
memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai dengan kebutuhan masa
depan tersebut. Masalahnya adalah apakah para guru kita mampu untuk
diajak terus menerus berlari mengejar perkembangan jaman dan teknologi
jika mereka tidak pernah, dan lebih parah lagi, tidak mau dilatih dan
dibimbing?
Dunia
pendidikan kita memang menghadapi masalah besar dengan kompetensi para
gurunya. Seorang pengamat pendidikan dengan masygul berkata bahwa dunia
pendidikan kita dilaksanakan oleh mayoritas orang-orang yang tidak
kompeten. Menyakitkan tapi memang begitu faktanya. Itu adalah buah dari
kebijakan pendidikan sebelum ini yang merekrut guru secara asal-asalan
dan pada akhirnya dunia pendidikan diisi oleh orang-orang yang tidak
kompeten. Dan kita harus menanggungnya sekarang.
Ironinya adalah bahwa kita hampir tidak punya daya untuk mengubah keadaan tersebut. Berbagai upaya untuk memperbaiki kompetensi dan profesionalisme guru nampaknya selalu terganjal oleh fakta bahwa banyak guru yang tidak mampu (dan juga tidak mau) untuk ditingkatkan kualitasnya. Dari sononya memang sudah ‘katrok’ dan tidak bisa diperbaiki. Hanya sebagian kecil saja guru yang memiliki ‘tulang bagus’ dan bisa dididik dan dilatih ulang.
Ironinya adalah bahwa kita hampir tidak punya daya untuk mengubah keadaan tersebut. Berbagai upaya untuk memperbaiki kompetensi dan profesionalisme guru nampaknya selalu terganjal oleh fakta bahwa banyak guru yang tidak mampu (dan juga tidak mau) untuk ditingkatkan kualitasnya. Dari sononya memang sudah ‘katrok’ dan tidak bisa diperbaiki. Hanya sebagian kecil saja guru yang memiliki ‘tulang bagus’ dan bisa dididik dan dilatih ulang.
Fakta
menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk
melakukan perubahan yang sifatnya mendasar macam mengenal dan
menggunakan internet sebagai media pembelajaran. Lebih ke bawah lagi.
para guru bahkan belum mengenal pengajaran dengan menggunakan
proyek-proyek yang menggabungkan beberapa mata pelajaran sekaligus.
Pengajaran tematik bahkan masih asing terdengar oleh para guru.
Kurikulum ini hanya dipahami secara parsial sehingga juga diterapkan
secara parsial.
Ketidakmampuan memahami pendekatan yang mendasari kurikulum ini membuat para guru tidak berusaha untuk mengubah pola pengajaran lama mereka secara mendasar. Mereka belum mampu untuk melaksanakan KBM dalam sebuah proyek secara bersama dengan guru-guru dari bidang studi lain.
Ketidakmampuan memahami pendekatan yang mendasari kurikulum ini membuat para guru tidak berusaha untuk mengubah pola pengajaran lama mereka secara mendasar. Mereka belum mampu untuk melaksanakan KBM dalam sebuah proyek secara bersama dengan guru-guru dari bidang studi lain.
Guru
belum memahami konstelasi bidang studi yang diajarkannya dalam kaitan
dan hubungannya dengan bidang studi lain dan masih melihat berbagai
bidang studi secara terpisah dan tersendiri tanpa ada hubungan dengan
bidang studi lain. Guru masih melihat bidang studinya berupa ‘text’ dan belum ‘context’
karena metode CTL (Contextual Teaching and Learning) masih berupa
wacana dan belum menjadi pengetahuan, apalagi ketrampilan, bagi para
guru. Guru-guru masih terjebak pada filosofi dan pendekatan lamanya. Hal
ini nampak jelas pada evaluasi yang mereka lakukan. Evaluasi yang
digunakan oleh para guru dilapangan masih berpedoman pada paradigma lama
yang hanya mengukur kemampuan kognitif dengan bentuk-bentuk evaluasi
yang hampir tidak berubah sama sekali dengan kurikulum sebelumnya.
Kesulitan
utama pada guru-guru adalah ketidakpahaman mereka mengenai apa dan
bagaimana melakukan evaluai dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini
mereka kembali kepada pola assesmen lama dengan tes-tes dan
ulangan-ulangan yang bersifat cognitive-based semata. Tidak adanya model
sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak
mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses peningkatan
kegiatan belajar mengajarnya. Sebagian besar guru, bahkan pada
sekolah-sekolah yang dianggap unggulan, bahkan belum paham benar dengan
prinsip ‘student-centered’ dan kegiatan belajar mengajar
masih berpusat pada gurunya. CBSA yang sebelum ini telah dikenalkan
masih berupa wacana dan belum menjadi kegiatan sehari-hari di kelas.
Mereka hanya mengambil kulit-kulitnya dan tidak paham esensinya. Saat
ini sekolah-sekolah berlomba-lomba menerapkan moving class tanpa tahu apa sebenarnya inti dari moving class tersebut sehingga yang terjadi sama sekali berbeda dengan apa yang hendak dicapai oleh sistem moving class
tersebut. Dan itu juga lagi-lagi karena rendahnya kualitas guru
sehingga mereka tidak mampu menyerap dan memahami apa sebenarnya dibalik
berbagai perubahan yang terjadi di negara-negara maju. Mereka mengikuti
tapi tidak paham apa sebenarnya yang mereka ikuti itu.
3.4 Mewujudkan Guru yang Profesional
Jika
guru telah memiliki kualitas sebagai guru professional maka tuntutan
kurikulum bagaimana pun tentu akan dapat dipenuhinya. Seorang guru
profesional adalah bak seorang Chef ahli yang dapat diminta untuk
membuat masakan jenis apa pun sepanjang bahan dan peralatannya tersedia.
Seorang Chef ahli bahkan bisa membuat masakan yang enak meski bahan dan
peralatannya terbatas.
Bagaimana
mewujudkan hal tersebut? Mulai sekarang rekrutlah guru-guru yang memang
memiliki kualifikasi tinggi pada bidangnya. Syarat utama bagi guru
untuk dapat mengajar dengan baik adalah guru yang memiliki kapasitas
penguasaan materi yang telah memadai. Guru harus benar-benar kompeten
dengan materi yang akan diberikannya. Guru yang tidak kompeten tentu
tidak akan dapat menghasilkan siswa yang kompeten. Selain itu guru juga
harus memiliki komitmen yang benar-benar tinggi dalam usaha untuk
mengembangkan kurikulum ini. Guru yang memiliki motivasi rendah tidak
akan dapat melaksanakan KBK ini karena KBK menuntut kerja keras guru
untuk mempersiapkan dan melaksanakannya di kelas.
Setelah
itu berikan pelatihan tentang pembelajaran sebanyak-banyaknya dan
biarkan mereka berkreasi di kelas. Kalau perlu magangkan mereka ke
sekolah-sekolah internasional agar mereka melihat langsung bagaimana
pendekatan competence-based dilakukan di kelas. Berikan otonomi seluas-luasnya pada mereka untuk mengembangkan kurikulum.
Apabila
guru telah dapat menguasai materi yang hendak diajarkannya maka guru
harus dapat mengupdate dirinya. Pelatihan terus menerus adalah jawabnya.
Baik itu metodologi-metodologi pengajaran yang berkorelasi dengan
penguasan KBK, maupun pemahaman filosofi dan paradigma yang
menyertainya. Pelatihan ini harus dibarengi dengan usaha-usaha keras
untuk mengembangkan sensifitas dan kreatifitas dari masing-masing guru
untuk mengembangkan sendiri metodologi yang tepat bagi siswa
masing-masing. Practice….practice…. and practice.
Sekolah
juga harus terus aktif untuk meningkatkan motivasi dari para gurunya
dalam memberikan pengajaran yang terbaik bagi siswa-siswanya, Sekolah
berkewajiban untuk meningkatkan kompetensi guru-gurunya dalam memahami
materi yang diajarkannya dan metodologi penyampaiannya. Untuk itu
sekolah harus secara berkala menyelenggarakan atau mengirim guru-gurunya
untuk mengikuti seminar, loka-karya, pelatihan, magang, maupun studi
banding ke sekolah-sekolah yang telah mampu melaksanakan sistem
pengajaran yang efektif. Minimal guru harus dapat memperoleh 3 (tiga)
kali seminar atau pelatihan mengenai bidang studi yang diajarkannya
maupun tentang metodologi. Guru juga harus selalu aktif mengikuti
perkembangan metodologi pengajaran dengan mengikuti berbagai kegiatan
kelompok profesi sejenis maupun melalui buletin-buletin profesi.
Dianjurkan agar sekolah-sekolah mau belajar ke sekolah-sekolah
internasional yang ada di kota masing-masing karena mereka telah lama
melaksanakan pendekatan ‘student-centered’ maupun ‘competence based’ ini, terutama dalam penerapan evaluasi dengan menggunakan portofolio.
Ibarat
koki yang harus memahami dasar-dasar tentang segala jenis bahan makanan
dan peralatan masak sebelum ia mampu membuat suatu masakan atau sajian
yang benar-benar berkualitas, guru juga harus memahami benar materi yang
hendak diajarkannya dan tahu tentang bagaimana mengolahnya menjadi
suatu kegiatan belajar mengajar yang mampu mengembangkan kompetensi
siswa-siswanya. Dibutuhkan guru–guru profesional untuk dapat
mengembangkan kurikulum apa pun dan bukan sekedar guru berkualitas
‘standar’.
Guru
profesional bukan hanya harus benar-benar menguasai materi yang harus
disampaikannya kepada siswa dan kaitannya dengan tujuan pendidikan
nasional secara filosofis maupun praktis. Ia juga harus paham hal-hal
mendasar seperti prinsip belajar otak kiri dan kanan, pendekatan Quantum Teaching and Learning, pemahaman tentang Multiple Intelligences dan penerapannya di kelas, Taksonomi Bloom dan aplikasinya pada proses belajar mengajar, metode pengajaran Contextual Teaching and Learning, mengakses dan memanfaatkan internet
sebagai wahana belajar, mengorkestrasikan materi yang diajarkannya
dengan materi pelajaran lain dalam suatu KBM tematik dalam bentuk
project. Guru profesional bukan hanya harus ‘well-performed’, tapi juga harus ‘well-trained’‘, ‘well-equipped’, dan tentunya juga ‘well-paid’.
BAB IV
KESIMPULAN
Untuk
menjadi seorang guru yang profesional dan menjadi klunci keberhasilan
pendidikan ternyata tidaklah semudah membalikkan telapak tangan kita.
Banyak hal yang harus dikerjakan para guru dan banyak hal pula yang
harus diperhatikan untuk mencapai keberhasilan pendidikan. Bukan hanya
guru yang dituntut lebuh tetapi juga perhatian dan kerjasama serta
keterlibatan para ahli, pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan
dalam hal ini.
Seperti
halnya para pakar dalam uraiannya tentang peran guru dalam dunia
pendidikan di bawah ini, hendaknya dapat menjadi bahan perenungan dan
motivasi bagi para guru untuk menjadi seorang guru yang ideal dan
profesional.
Prof. Suyanto Ph.D, Dirjen Mandikdasmen :
“Guru
harus diajak berubah dengan dilatih terus menerus dalam pembuatan
satuan pelajaran, metode pembelajarannya yang berbasis Inquiry,
Discovery, Contextual Teaching and Learning, menggunakan alat bantunya,
menyusun evaluasinya, perubahan filosofisnya, dll.”
Achmad Sapari, mantan Kasi Kurikulum Subdiknas TK/SD Dindik Kab. Ponorogo
“Guru
harus terus ditingkatkan sensifitasnya dan kreatifitasnya. Sensifitas
adalah kemampuan guru untuk mengembangkan kepekaan-kepekaan
paedagogisnya untuk kepentingan pembelajaran.”
Bagi
para guru yang sudah dinyatakan profesional, jangan berhenti untuk
terus mengembangkan diri dengan belajar dan terus belajar. Bagi para
guru yang belum mendapat kesempatan untuk mendapatkan pengakuan sebagai
guru profesional jangan putus asa. Berjuanglah terlebih dahulu untuk
menjadi guru ideal sebelum mencapai guru profesional. Proficiat!
http://lelyokvi.blogspot.co.id/2011/02/guru-profesional-kunci-keberhasilan.html